Minggu, 19 Desember 2010

Uji citarasa kopi di Kramat Sentiong

Untuk pertama kalinya kami mengadakan uji citarasa kopi bersama dengan para konsumen (secara terbuka). Dan hasilnya, tanggapan lidah konsumen kami yang umumnya bukanlah dikenal sebagai penggila kopi ini pada hematnya mengisyaratkan suatu kualitas penilaian yang jujur. Memang tak perlu harus menjadi pakar atau bahkan sesungguhnya juga quality grader jika kita ditantang untuk menilai secangkir kopi itu enak atau tak enak. Cukuplah dengan akal sehat dan mengikuti suatu pedoman umumnya diakui masyarakat.

Jumat, 17 September 2010

Ingin menanam kopi arabica?

Anda ingin menanam kopi arabica di Indonesia? Dibandingkan dengan semua buku tentang kopi yang sejauh kami telusuri di gerai umum di toko-toko buku yang tersedia di Jakarta, teks gratis dari Food and Agriculture Organisation (FAO) jelas lebih lengkap.

KOPI INSTAN = PERZINAHAN KOPI = KOPI LONT.. @Har Wib, @Agus Edi Santosa, @Agustinus Dawarja

Uncommon Grounds: The History Of Coffee And How It Transformed Our WorldCatatan ini bermaksud menanggapi dan menyambung diskusi yang sedikit berkembang setelah EcosocRightsFB(ERsFB)/mbak Sri Palupi menulis bahwa kopi Manggarai termasuk kopi papan atas dunia (skor citarasa 86,9). Untuk itu dikutip hasil kerja uji citarasa kopi (coffee cupping) yang dilakukan oleh Thompson Owen (http://www.sweetmarias.com/index.php) yang mengelola usaha kopi petik hijau untuk para penggemar sangrai kopi di California, AS. Kopi Manggarai dapat tergolong sebagai “excellent” dalam kategori penilaian SCAA, otoritas kelembagaan yang terkenal di pasar internasional.

Kamis, 26 Agustus 2010

Mengapa FairTrade?

BonJour Hugo 3-Cup Unbreakable French Press, BlackSesungguhnya ini adalah pilihan nekad yang kami ambil. Sebab, sudah banyak sinisme dan sikap skeptis pada fairtrade. Karena sekarang sudah tak sedikit perusahaan-perusahaan besar bermodal sangat besar juga menggunakan slogan fairtrade. Di samping para pemula fairtrade sendiri seperti MaxHavelaar France juga telah dikritik seperti oleh penulis kritis dari Prancis Christian Jacquiau karena ikut-ikut memanfaatkan kemitraan dengan para retailer besar bahkan korporasi-korporasi internasional. Mengapa mereka tidak menciptakan sistem perdagangan yang lebih otonom dan lebih adil secara terpisah?


Rabu, 04 Agustus 2010

Setengah kg kopi untuk berapa hari? Digiling atau digoreng?

How About a Nice Cup of Shut the F*ck Up? Coffee MugSeorang teman bernama Rina memesan kopi Gunung tapi ia bertanya kepada kami begini: "Setengah kilogram kopi itu kira-kira untuk berapa hari? Mana yang lebih baik, digiling atau digoreng?" Rina akan pergi ke Amerika Serikat dan ingin membawa oleh-oleh kopi untuk seorang temannya pesuka kopi, dia asal Indonesia dan sedang tinggal di Amerika.
Barangkali banyak teman pembaca blog ini juga memiliki pertanyaan yang mirip. Saya berupaya menjawab pertanyaan ini. Barangkali bukanlah anjuran yang terbaik, tapi kiranya dapat dipertimbangkan. Atau barangkali ada pembaca lain yang ingin memberikan komentar atau nasihat..
Untuk Rina,
Saya akan menjawab pertanyaanmu ini satu per satu. Pertanyaanmu tentang ‘setengah kilo kopi dapat digunakan untuk berapa hari’ sebenarnya terkait dengan ‘sebaiknya berapa gram orang meng-‘aplikasi’-kan kopi tersangrai-tergiling (bubuk kopi, coffee ground) ketika ia mau minum kopi.’ Sudah ada sih penjelasan yang kadang-kadang tercantum dalam kemasan kopi yang dijual. Tapi belum tentu orang memikirkannya sungguh-sungguh.

Selasa, 03 Agustus 2010

Kopi adalah produk utama dari produksi petani hutan Rengganis

Sejauh ini kopi varietas robusta yang dapat Anda nikmati adalah hasil bumi utama dari kelompok petani hutan di lereng selatan gunung Hyang Argopuro, Jember, Jawa Timur. Ceritera tentang keadaan hidup, lingkungan, sosial dan politik mereka dapat Anda baca dari posting berjudul "Sepak Terjang Petani Hutan Rengganis", yang diunggah oleh lembaga pendamping mereka: Lembaga Studi Desa untuk Petani – Studi Dialektika Indonesia dalam Perspektif yang sering dijuluk "SD Inpers". Berikut ini adalah kutipan menariknya.

Kopi adalah produk utama dari produksi petani hutan Rengganis. Jenis kopi rakyat yang ditanam adalah Robusta. Dengan umur masa tanam sekitar satu sampai enam tahun. Jumlah panen kopi rakyat per tahun dari hasil produksi petani hutan Rengganis diperkirakan 5.000 ton. Masa panen kopi rakyat setahun sekali. Tepatnya sekitar bulan Mei sampai Agustus. Pemasaran kopi rakyat biasanya dijual melalui tengkulak. Tentunya dengan harga yang murah. Kelemahan pemasaran kopi rakyat menjadi suatu ancaman kerugian bagi petani hutan. Dan sampai saat ini masih belum ada penyelesaian untuk mengelola kopi hasil produksi rakyat. Masalah lain yang dihadapi petani hutan Rengganis menyangkut tanaman kopi milik mereka saat ini yaitu tidak adanya penjarangan tanaman Mahoni milik Perhutani. Maksudnya, apabila tanaman Mahoni tidak dikurangi sesuai dengan peraturannya maka akan berakibat buruk pada tanaman tumpang sari kopi rakyat yang berada di bawahnya. Banyak kopi rakyat di hutan produksi rusak karena kekurangan cahaya matahari yang terhalang tanaman Mahoni milik Perhutani. Hal ini dianggap merugikan bagi petani sekaligus Perhutani juga rugi. Karena apabila tanaman Mahoni tidak ada penjarangan maka tanaman itu akan banyak yang rusak, tidak tumbuh secara sempurna. Kejadian ini sudah diusulkan ke Perhutani oleh pengurus LMDH Rengganis tapi masih belum ada tanggapan penyelesaiannya.

Pak Munawaroh, petani kopi di lereng selatan gunung Argopuro, Jember

Pak Munawaroh,
Panti, Jember




Kedua anak pak Munawaroh,
Muarif (kiri) dan Wardoyo (kanan)
"Silakan coba kopi kami.
Kami telah memeliharanya dengan baik."

Kopi Premium Robusta 'Kalimas' dari lereng gunung Argopuro, Jember

Kopi Robusta Kalimas
dari lereng gunung Argopuro, Jember

Senin, 02 Agustus 2010

PENAWARAN TERBUKA

Kini kami telah sangat mendekati puncak menyingkap citarasa kopi sejati dari para petani kita sendiri, baik untuk varietal Arabica maupun Robusta. Nah, kami yakin teman-teman sekalian akan sungguh-sungguh merasa puas dengan temuan ini. Citarasa kopi spesial dengan kaitan asal-usul sistem lingkungan yang khas dari masing-masing lokasi budidaya petani kita sendiri. Langsung dari gunung, segar, semerbak dan asli, tanpa perantara. Ini bukan 'gombal omong kosong', sebelum dicoba sendiri ya ..

Dari jerih payah para petani dan para pendamping mereka, sekarang kami sanggup menyajikan kopi terbaik dari antara biji-biji pilihan. Varietas kopi Robusta dengan sebutan lokal di antaranya 'Kalimas' dan 'Trelin' ini berasal dari budidaya di lereng selatan gunung Hyang Argopuro yang dikelola oleh kelompok tani yang tergabung dalam Serikat Petani Independen (Sekti) di areal kebun Rengganis, desa Panti, Jember, Jawa Timur. Citarasa kopi ini jauh lebih segar dan asli daripada yang biasanya telah kita konsumsi selama ini. Silakan cicip kopi promo kami sejauh masih tersedia. Dijamin Anda beralih sasaran lidah kepada hasil bumi para petani yang selama ini telah menjadi kontak serikat tani yang memperjuangkan keadilan bersama dengan kita semua.

Dalam jangka dekat ke depan ini, dengan dukungan teman-teman sekalian, kami juga akan mampu menyingkap rahasia citarasa kopi Robusta sejati yang lain, seperti dari desa Kalijaya, Banjarsari, Ciamis; kopi khas dari Hokèng, Flores Timur, NTT; atau bahkan jika Anda penikmat kopi sejati, tersedia pula kopi Arabica dari Rutèng, Manggarai, NTT yang dikelola oleh para petani yang tinggal di Kampung Tenda, Rutèng; tapi juga dari areal kebun-kebun alamiah yang lain di wilayah Manggarai, Flores bagian barat; dan masih banyak lagi dari para petani yang tergabung dalam dukungan organisasi-organisasi masyarakat sipil kita yang berbasis di pedesaan. Kapan lagi kita nikmati ‘anekaragam’ citarasa kopi-kopi kita sendiri? Mengapa kita biarkan lidah kita mendekati mati-rasa karena dikuasai produk bermerek tertentu saja?

Dengan setia menikmati kopi pilihan dan jerih keringat para petani kita ini, teman-teman sekalian secara definitif telah ikut mendukung gerakan demokrasi sejati dari bawah berpangkal dari basis-basis pelosok desa kita di Indonesia.

Harga tidak lebih mahal daripada olahan kopi yang selama ini telah Anda bayarkan namun dengan mutu dan citarasa yang jauh berbeda.

Kopi Premium Robusta Organik dari Kebun Rengganis di Jember, Jawa Timur
166 gram – Rp10.000

250 gram – Rp15.000

Kopi Arabica Natural dari Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur

143 gram – Rp20.000
250 gram – Rp35.000

+ ongkos kirim, jika tak langsung diambil sendiri.

SELAMATKAN ANAK BANGSA DARI TUNARASA KOPI SEJATI (acuan pada Kopi Blandongan)

Rabu, 28 Juli 2010

Citarasa Kopi Arabica dari Manggarai


Inilah peta citarasa kopi arabica dari Manggarai yang kami coba lukiskan untuk Anda sekalian. Maksudnya untuk mempermudah pengenalan kita pada kopi khas dari Ruteng, Manggarai ini.

Peta google menuju ke Ruteng, Manggarai, NTT

Lihat Peta Lebih Besar

Anda bisa juga mendapatkan file dari peta citarasa kopi di halaman picasa kami. Sedangkan tentang proses kami melakukan coffee tasting untuk kopi Manggarai ini beberapa saat yang lalu, ceritera lebih lengkapnya dalam Anda ikuti di sini.

Sabtu, 17 Juli 2010

Citarasa kopi

Soal rasa memang perkara subjektif. Apalagi selera. Maka tak mengherankan bicara tentang 'rasa' dekat dengan kenyataan 'suka atau tidak suka'. Ini repot dan karenanya mestinya tak usah dibicarakan. Tapi kopi 'apa pun bentuknya', bagaimana pun adanya, adalah fakta. Fakta, sekali lagi. Bisa disentuh, dipegang, dicerap baunya (aroma-nya), dirasakan-dicecap-dicicip 'seduan'-nya, ditinjau penampilannya, bisa diperiksa asal-usulnya, sejarahnya, dianalisis secara filsafat (ga percaya? Tanya si penulis buku 'Filsafat Kopi'), dst. Nah, kalau tak bisa kita tolak bahwa kopi itu adalah fakta, maka akal budi dan pancaindera tentunya dapat kita pergunakan untuk mendeskripsikannya kan? Maka tentunya pula mendeskripsikan kopi adalah tugas 'rasional' yang sangat menantang untuk mereka yang senang mengamati, mencecap dan menjelaskannya dengan kekuatan akal budi .. Maaf hehe ..

Tapi, pada hemat saya, sebelum menghadapi tantangan mendeskripsikan kopi, saya mendapati bahwa terdapat suatu hambatan yang cukup serius, terutama sejauh terkait dengan upaya menjelaskannya dalam kata-kata. Ini maksudnya supaya pembaca mudah memahami. Lalu apa hambatan itu? Satu saja: Kebiasaan yang telah menjadi kesukaan kita semua pada gula dan rasa manis. Rasa manis yang sudah membudaya di Indonesia. Dan, dari sisi bisnis, adanya faktor dominan rekayasa gastronomik berbasis rasa gula yang dimanipulasi oleh banyak pengusaha makanan dan minuman publik berorientasi super-profit .. Dan, dari sisi etnik, pada hemat saya hal ini tidak hanya berlaku untuk orang Jawa, tapi juga bisa suku-suku yang lain, meskipun tak dapat dipukul rata, tentunya.

Mengapa gula dan rasa manis itu menghambat akal budi saya untuk menjelaskan rasa kopi? Di satu sisi, karena kopi itu sendiri memiliki ciri umum memiliki rasa pahit karena kandungan kafein di dalamnya. Tapi, di sisi lain, seperti saya percaya pada lidah saya, rasa pahit pada kopi itu tidaklah seragam. Intensitasnya berbeda-beda dari satu jenis kopi ke jenis kopi yang lain, dari satu cara menyangrai ke sangrai yang lain. Nah, kalau lidah kita sudah terbiasa dengan gula dan rasa manis, maka jika ada rasa pahit sedikit saja (tentu yang berasa pahit tidak hanya kopi tapi juga jamu atau jenis bumbu tertentu di dapur, misalnya), kita condong buru-buru akan menambahkan gula.

Kebiasaan ini kiranya sangat mendorong timbulnya 'bias' ketika kita hendak memasuki 'keanekaragaman' rasa kopi. Maksudnya, agar kita mampu membeda-bedakan aneka rasa kopi, terlebih dahulu sesungguhnya kita perlu mengatasi bias kerinduan (Freudian?) pada rasa manis. Jadi harap maklum jika pembaca yang suka rasa manis akan sedikit kesulitan memahami pelbagai rasa kopi, terutama kopi-kopi Indonesia, yang sesungguhnya dikenal sangat beraneka ragam, sesuai dengan pluralitas habitat dan ekosistem serta lingkungan tumbuh pohon kopi di Nusantara ini.

Nah, tapi masalahnya: bagaimana mendeskripsikan rasa kopi? Apakah hanya pahit? Lho kok kopi rasanya masam? Ada yang bilang rasanya 'mantap'. Apa maksud 'mantap' untuk rasa kopi? Kopi itu 'harum semerbak'. Atau, sebaliknya, baunya nyaris sudah tak dapat dicerap hidung. Karena ada berbagai macam penilaian, maka tampaknya tentang rasa dan aroma kopi jadi serba tak menentu. Pergulatan menemukan rahasia dan hakikat rasa kopi bisa jadi macet. Dan orang kembali kepada 'suka atau tidak suka', hehe .. Hal ini diperparah oleh hambatan bias kerinduan rasa manis tadi itu.

Tapi, meskipun demikian, setidaknya orang percaya bahwa ada yang 'berasa' pada kopi. Karenanya, sudah pasti orang yang bersangkutan percaya bahwa dimungkinkan dan dipersyaratkan adanya suatu kadar objektivitas, atau setidaknya suatu kemampuan untuk menilai, berkomentar, menengarai, dsb., sebelum ia menyatakan 'suatu' cerapan tertentu dari pancainderanya, apa pun bentuknya, apa pun rasa atau aroma itu.

Padahal, bukankah rasa dan bau (aroma?) adalah dua kenyataan yang memang sulit dinilai? Jika demikian, apakah diperlukan suatu cara 'demokratis' untuk menilainya? Barangkali ya, tapi banyak orang pikir untuk apa pusing-pusing sih? Apa pun pertentangan dan perbedaan pendapat yang mungkin muncul, pada hematnya semua orang kiranya mengaku bahwa sulit mendeskripsikan rasa dan aroma secara objektif. Hal ini persis berbeda kalau kita bicara misalnya tentang bunyi, sebagai suatu fenomena fisik yang dapat dicerap oleh salah satu pancaindera kita yaitu telinga. Deskripsi umumnya relatif lebih mudah: keras, lemah, lembut, lirih. Kiranya juga mudah kita cari alat ukurnya .. Rekam saja dengan tape recorder atau dengan recorder HP, lalu unduh dan baca dengan salah satu perangkat lunak yang sesuai. Maka grafik dan geraknya akan segera muncul .. hehe ..

Baiklah, sebelum kebablasan kita perlu kembali pada: Bagaimana dengan mendeskripsikan rasa kopi? Tapi sebelum mencoba menjawab pertanyaan ini, saya perlu ngaku dulu bahwa saya mengacu dan belajar dari thecoffeefaq.com. Tetapi bersamaan dengan itu, ketika membandingkan berbagai literatur publik ternyata seluk-beluk kopi sudah sangat banyak dikembangkan dalam kosakata bahasa Inggris. Mungkin juga bahasa fleksi dunia Barat yang lain. Kenyataannya dapat dikatakan mereka memang lebih menghargai kopi. Masyarakat Barat, terutama Amerika Serikat, boleh dikata pada umumnya kecanduan kopi. Ada berbagai kontroversi dalam sejarah sejak zaman kolonial, sehingga pada hematnya terdapat banyak sekali warisan berbagai pelajaran yang bisa memiliki banyak manfaatnya, baik yang positif maupun negatif.

***

Nah, singkatnya, kata 'rasa' kiranya lebih sejajar dengan kata 'taste' dalam bahasa Inggris. Lalu, bagaimana dengan kata Inggris 'flavor'? Karena bahasa Inggris sudah lebih banyak dipakai untuk mendeskripsikan dunia perkopian, maka terpaksa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang kita pakai kita acukan pada bahasa Inggris. Sedangkan kata Inggris 'flavor' kita sejajarkan dengan 'citarasa'. Hehe .. mudah-mudahan saya tak semena-mena menggunakan kata ini. Penyejajaran ini saya pakai untuk membantu diri saya keluar dari kecondongan menerapkan 'suka atau tak suka', supaya dalam membicarakan tentang rasa, kiranya saya punya sedikit lebih banyak dasar akal sehat. Inilah maksudnya.

Dalam masalah 'citarasa' (flavor) kopi, sekalipun tak sepenuhnya berdasarkan standar, kiranya kita perlu melihat mendasarnya pengakuan tentang adanya dua variabel. Pertama: terkait dengan proses sangrai kopi: sangrai ringan (light, katanya lebih disukai orang Amerika Serikat), medium (gaya Itali), dark roasted (gaya Prancis; juga jadi kebiasaan-kesukaan ibu-ibu di Hokèng, Flores Timur), dst. Kedua: terkait dengan perbedaan jenis biji-biji kopi. Citarasa kopi yang terkait dengan sangrai mengacu pada karakter yang berasal dari biji-biji kopi itu sendiri, termasuk perlakuan-perlakuan yang diberikan pada biji-biji kopi sebelum disangrai. Misalnya, apakah buah kopi dikelupas kulitnya dengan metoda basah atau kering, apakah kemudian dijemur langsung di atas tanah atau justru karena kelalaian disimpan di dekat sabun selama berapa lama? Penyangraian itu sendiri sangat berpengaruh pada citarasa intrinsik dan aroma yang dihasilkan. Seorang penyangrai yang lihai akan berupaya untuk menyeimbangkan semua faktor identitas yang dimiliki oleh biji-biji kopi sehingga hasil sangraiannya sungguh-sungguh mampu menampilkan ciri khas dari biji-biji kopi itu.

Body: terkait dengan bobotnya, terkait dengan mutu teksturnya, persepsi tentang kekentalan atau "kepenuhan" (ada asosiasi 'bentuk'?) ketika mulai kita rasakan cairan kopi pada lidah di dalam mulut. Apakah kata ‘body’ (Inggris) dapat kita terjemahkan menjadi ‘bobot’? Ya, untuk sementara dan demi pemahaman kita, saya putuskan saya gunakan padanan kata ‘bobot’ untuk kata Inggris yang sering dipakai dalam tengara ciri kopi ini. Saya tak ambil kata ‘tubuh’ atau ‘badan’ yang juga dekat sekali maknanya dengan asosiasi padanan kata ‘body’.

‘Bobot’ dari cairan kopi terkait dengan tingkatan hasil sangrai. 'Bobot' dari kopi akan jadi rusak, jika kita kebablasan ketika menyangrai. Tapi 'bobot' juga dapat dipengaruhi oleh kondisi asal dari biji kopi itu sendiri. Setidaknya di sini diakui adanya dua variabel itu, yaitu variabel proses atau cara sangrai dan variabel ciri asal kopi. 'Bobot' dapat dibedakan dari 'ketebalan'-nya (thickness, viscocity), yang dapat dipelajari dari metode penyeduan yang diterapkan, apakah menggunakan model 'pressing' seperti alat French press ataukah model 'espresso'. Dengan French press, partikel-partikel halus dari kopi tetap bertahan di dalam bubuk kopi. Sedangkan dengan model espresso, yang menggunakan tekanan udara, kandungan minyak dari dalam biji kopi ikut terserap keluar ke dalam cairan emulsi kopi. Tapi ingat pula, bahwa kopi yang kurang diserap atau diekstrak secara memadai akan menghasilkan 'bobot' emulsi kopi yang 'ringan' atau kurang berbobot ..

Berikut ini adalah ciri-ciri yang dilukiskan dengan menggunakan kata-kata sifat yang dapat menengarai citarasa kopi. Di antaranya adalah rasa yang ‘seimbang’, tajam pahitnya, pahit-manis, asam, dst.

Aroma. Komponen ini adalah komponen yang paling sering ditengarai orang. Dicerap oleh indera hidung yang merupakan alat sensor bau. Lukisannya dengan kata sifat dapat berentang antara: harum, semerbak, wangi, dst. Aroma berkaitan tentu saja dengan kedua varibel perkopian itu: sangrai dan jenis asalnya. Secara efektif aroma kopi mulai lebih jelas berasa pada hidung kita, pada hemat saya, terutama setelah biji-biji kopi yang tersangrai itu digiling. Memang ketika disangrai, aroma kopi sudah muncul dan mulai berkembang, dan menjadi lebih jelas lagi ketika unsur gula di dalam biji-biji kopi mulai muncul. Yang terakhir inilah yang sering disebut dengan proses ‘karamelisasi’. Karamel artinya kandunga gula .. Tetapi, yang sangat krusial, adalah justru setelah biji kopi tersangrai digiling, maka karakter aslinya menjadi lebih ‘kentara’, atau ‘mencolok’. Jika Anda sering menggiling kopi sendiri, maka kemungkinan besar akan Anda dapat di sekitar teman Anda menggiling, misalnya dapur, akan terus bersisa aroma kopi, bahkan setelah beberapa hari. Fakta lain yang perlu dicatat adalah bahwa komponen-komponen aromatik yang beterbangan ketika kopi disedu memainkan peranan sangat penting yang menentukan karakter citarasa kopi yang bersangkutan.

Seimbang. Hasil sedu kopi yang Anda minum memiliki suatu keseimbangan dari berbagai cirinya. Tak ada salah satu cirinya yang mendominasi. Penilaian ini tentu juga sangat bergantung pada variabel sangrai dan variabel dari jenis asal kopi. Apakah kata ‘seimbang’ ini dapat kita padankan dengan kata ‘gurih’? Kata ini saya dapat dari mbak Kristin yang spontan berkomentar tentang citarasa kopi.

Pahit (tapi juga ‘manis’): Rasa pahit dan intensitasnya sangat bergantung pada variabel sangrai dan perlakuan-perlakuan yang telah diberikan terutama oleh para petani yang bersangkutan atau para pengelola pasca-panen kopi. Tak semua orang tak suka rasa pahit. Dan tak semua rasa pahit itu tak berguna untuk kesehatan tubuh kita, tentu dalam kadar ukuran penerapannya. Jamu contohnya. Tapi rasa pahit merupakan rasa yang umumnya kurang disukai orang. Dan perlu diingat bahwa rasa pahit ‘dapat dikendalikan’ (lihat posting sebelumnya: Mengapa kopi berasa pahit?).

Asam -- acid; pada hemat saya, rasa ‘asam’ pada kopi lebih terkait dengan asal dan varietas kopi, tetapi juga dapat terkait dengan variabel sangrai. Jika disangrai sampai terlalu gosong, maka tentunya rasa asam itu akan berkurang dan bisa sampai hilang. Agar masyarakat tidak tambah bingung, para retailer kopi di dunia Barat dianjurkan tidak menggunakan kata ‘acid’ untuk menjelaskan rasa kopi, tetapi mereka diminta untuk lebih menggunakan kata ‘bright’ (cerah?) atau ‘lively’ (bergairah?). [Mungkinkah: Kopi itu rasanya cerah? Atau rasanya kopi itu sangat bergairah? Atau ‘menggairahkan’? Mengapa tidak?]. Kopi yang memiliki rasa asam kebanyakan adalah kopi varietas Arabica. Kita orang Indonesia pada umumnya jarang mengonsumsi kopi jenis ini, sehingga kita juga kurang kenal rasa asam dari kopi. Tapi bisa teman-teman bayangkan jika anak-anak muda Jakarta tak kurang suka pada minuman kopi yang dicampur dengan jeruk? Atau yang lebih mereka sebut dengan ‘lemon coffee’?

Citarasa tambahan yang lain, misalnya berasa seperti kayu terpanggang, atau terbakar; berasa seperti jerami atau rumput; bersaput rasa buah-buahan, dst. Citarasa tambahan ini sangat bergantung pada jenis kopi. Citarasa yang khas ini dapat menimbulkan sensasi positif yang membuat orang lebih menyukai kopi, sehingga terdapat kemungkinan besar untuk direkayasa. Biji kopi yang tersimpan bersama sabun pada akhirnya dapat berasa sabun atau rasa aneh yang lain. Lalu mengapa orang tak dapat merekayasa kopi dengan rasa durian atau mangga, misalnya? Tentunya ..

Kecoklat-coklatan, seperti aroma roti dipanggang? . Kopi tersangrai dengan baik, dan mengeluarkan citarasa yang mirip dengan roti dipanggang, atau memiliki kandungan rasa seperti coklat.

Berasa seperti jamu. Terdapat kopi yang memiliki saputan rasa seperti jamu. Katanya, kopi dari Brazil dari kawasan Rio de Janiero memiliki rasa yang dilukiskan mirip dengan obat-obatan alamiah, lalu mereka menggunakan kata jadian 'rioy'.

Berasa seperti tanah. Rasa ini, katanya, cukup sering tampil dari kopi-kopi yang berasal dari Indonesia. Katanya, rasa ini mungkin karena kopi dijemur di atas tanah. Rasa ‘tanah’ (earthy, natural) ini termasuk di antara yang disukai oleh para peminum di tingkat dunia.


Berikut ini adalah beberapa ‘lukisan’ rasa kopi yang lebih condong berkonotasi negatif yang mengarah pada mutu kopi yang jelek atau rendah.

Berbau tajam (tajam menyengat?), tidak sedap (acrid). Barangkali juga dekat dengan kata ‘getir’. Kata ‘acrid’ dalam bahasa Inggris dipakai misalnya untuk melukiskan bau yang muncul ketika karet ban mobil dibakar; asapnya juga dapat membuat mata menjadi berasa perih atau ‘pedas’. Saya belum pernah merasakan kopi sampai sedemikian parahnya seperti bau ban dibakar sih ..

Kecut, masam. Umumnya akan beracu pada padanan kata ‘masam’, ‘kecut’, ‘ketar’, ‘asam’ (sour), misalnya seperti rasa mangga muda atau cuka. Namun kata ‘sour’ ini perlu dibedakan dari

Hambar, cemplang (flat? blandtasteless, weak?)

Apak (apek?), kepam (musty)

Berjamur, bulukan (moldy, mildewy?). Keadaan dapat memengaruhi sampai ke bau kopi yang bersangkutan.

Jumat, 16 Juli 2010

Sangrai Ringan untuk Kopi Arabica Manggarai Paling Pas?

Akhirnya kami coba juga menyangrai kopi Arabica dari Manggarai dengan gaya medium roast. Dua jenis sangrai yang lain telah saya tuliskan ceriteranya dalam posting sebelumnya.

Hasilnya? Aneh sekali.

Kami temukan kopi Arabica ini pada umumnya tak berasa pahit. Bobotnya tetap bertahan. Rasa asam juga nyaris sirna seperti jika disangrai dengan gaya dark roast. Percobaan ini seperti membuka khazanah baru, bahwa kopi tidak selalu mengandung rasa pahit.

Alhasil, untuk seluruh proses pengujian cepat ini, kopi Arabica (+Columbia?) ini kiranya akan paling terkuak citarasanya jika disangrai secara ‘ringan’ (light roast). Dwi dan saya tampaknya setuju bahwa rasa asam kopi ini mampu membuat peminumnya jadi ketagihan. Model ini tampaknya juga dikonfirmasikan oleh Savitri. Tapi kami masih akan minta konfirmasi dari Bagus. [prasetyohadi]

Rabu, 14 Juli 2010

Coffee cupping - Kopi Arabica dari Kanisius Deki, Manggarai, NTT

Selasa sore ini (13/7) ini kami berlagak jadi penguji mutu kopi: Dwi, Bagus dan Pras. Kopi yang dicicip adalah kopi Arabica asal Manggarai, NTT. Tim pelatihan hak ecosoc untuk para pemuka agama NTT di Manggarai baru saja pulang. Kami bergembira sekali karena kegiatan pelatihan berlangsung lancar dan banyak membuahkan hasil, termasuk mereka bawa lima kilogram kopi Arabica dari pemberian Kanisius Deki, partner peneliti asal dari Manggarai. Barangkali kopi yang diberikannya pada kita itu berasal dari kebunnya sendiri.

Kami penasaran dengan rasa kopi Manggarai yang khas ini. Maka tak sabar lagi kami mau mencobanya. Tapi tak seperti yang sudah-sudah, biasanya kami asal minum sedu kopi baru yang kami dapat. Kali ini kami siapkan formulir pengujian. Saya ambil dari coffeeresearch.org. Yang kita uji di antaranya adalah “fragrance, aroma, flavor, acidity, body, aftertaste.” Kiranya ini adalah enam unsur penting dari hasil bumi kopi bagi para konsumen-penikmat-penguji. Maaf, keenam komponen ini masih dalam istilah bahasa Inggris. Dan maaf juga kami juga tidak seteliti seperti yang dikerangkakan oleh coffeeresearch itu. Nanti dalam posting lain akan saya coba dekati, entah berhasil atau tidak.

Hasilnya bagaimana? Memang belum ada perbandingan dengan kopi-kopi sejenis yang lain. Tapi kami —yang cukup sering minum kopi dan saya juga sering meminta plus setengah memaksa mbak Dwi dan Bagus untuk cicip dan berkomentar— tampaknya agak terkejut dengan mutu kopi ini.

Kombinasi rata-rata untuk nilai mutu kopi ini dari masing-masing kami tukang minum kopi sebagai berikut ini. Bisa juga dilihat detilnya di google doc ini: Coffee Cupping.

Dwi: Light Roasted (disingkat LR, sangrai ringan, coklat gaya Amerika): 6.33; Dark Roasted (DR, sangrai matang, gaya Prancis): 6,42. Tampaknya Dwi suka dengan gaya Amerika. Tapi dia juga sekaligus lebih suka jika bisa dicoba gaya MR (Medium Roasted), tapi ini menyangrainya agak sulit.

Bagus — LR: 7,5; DR: juga sama 7,5. Buat Bagus tampak sama-sama enak untuk kedua gaya sangrai yang saya coba. Tapi Bagus juga tampak condong lebih suka LR, karena dia sampai menyeruput terus sisa kopi di cangkirnya meskipun sudah habis. ‘Bikin ketagihan,’ tulisnya di komentar formulir. Bagus juga tampak ‘murah hati’ memberi penilaian pada kopi ini.

Saya, Prasetyohadi: LR: 6,67; DR: 6,33. Baru saya kemudian sadar tampaknya saya lebih suka rada gosong gaya Prancis. Tapi terus terang saya merasakan ‘body’ dari kopi ini lebih mantap jika disangrai ringan daripada matang. Saya mendapatkan sensasi rasa asam yang berkarakter dari kopi ini. Seperti mbak Dwi menengarai, nyaris rasa pahit kopi ini hilang sama sekali jika disangrai ringan. Tapi untuk Dwi, model ini jangan-jangan adalah penyangraian yang belum matang.

Tapi terus-terang ketika menyangrai, saya benar-benar coba berhenti sesuai dengan petunjuk sangrai yang saya pikir sesuai pedoman dasarnya. Yang lebih sulit bagi saya adalah meneruskan penyangraian yang jarak waktunya sangat pendek, sementara alat sangrai rekayasa saya itu tak mampu membuat saya dapat melihat perubahan warna dari biji kopi ketika disangrai. Inilah kelemahannya. Tapi rasanya ini masih tergolong kelemahan minor, jika sesungguhnya alat sangrai itu hanya saya maksudkan untuk kepentingan menyediakan pasokan warkop dan bukan coffee house yang lebih tinggi tingkat profesionalitasnya ..

Tapi di antara kami bertiga sebagai peminum kopi, tampaknya kami setuju bahwa kopi Manggarai yang diupayakan oleh Kanisius Deki ini bukanlah kopi-kopi biasa yang biasanya beredar di pasar-pasar tradisional. Bahkan mbak Dwi berkomentar bahwa Kopi Aroma dari Bandung, yang sangat tersohor itu pun tidak memiliki jenis kopi Arabica dari teman kita Kanis ini. Kopi ini kiranya tergolong kopi upmarket untuk konsumsi penikmat kopi papan atas dengan kocek tebal di dunia antah berantah di Amerika Serikat atau Eropa Barat. Barangkali.

Pantaslah jika para petani Manggarai mengeluh bahwa harga Rp20.000 per kilogram telah dirasa tidak adil dalam perdagangan kopi. Kita benar-benar harus pikir ulang jika memang mau menawarkan kopi Arabica dari Kanis ini ke para konsumen warkop kita itu .. [Prasetyohadi]

Kamis, 08 Juli 2010

Secangkir Kopi: Bertemunya Logika dan Perasaan

Tahun 1995 sekumpulan programer komputer dari Standford University menemukan satu varian bahasa program yang terlalu maju di jamannya. Bagaimana tidak, menghubungkan kecanggihan komputer dengan perangkat elektronik lain seperti TV, radio, atau handphone mustahil dilakukan bahkan dianggap gila di jaman itu. Lain dengan kini, mengakses siaran TV atau radio bisa dilakukan dari komputer. Bahkan mengolah dokumen, berkirim email, sambil mendengarkan lagu bisa dilakukan dalam handphone segenggam tangan. Sesuatu yang taken for granted di jaman sekarang ini, mustahil dilakukan di tahun 90-an.

Sementara menyusun bahasa program yang menghubungkan antar perangkat elektronik itu, para programer itu masih belum menemukan juga nama yang pas untuk bahasa program varian baru itu. Ya, nama untuk suatu bahasa program diperlukan untuk membedakan dengan bahasa program lain yang berkembang di saat itu. Debat di kalangan programer tidak menunjukkan titik kesepakatan untuk sebuah nama. Sampai satu pertanyaan muncul: "Apa perasaaan Anda dengan penemuan ini?". Seorang menjawab: "Saya merasa bergairah!". Seorang lagi menjawab: "Saya merasakan kelembutan sutra". Yang lain menjawab: "Saya merasakan sebuah sajak ". Yang lain lagi menjawab: "Saya merasakan java!". Nah! Itu dia Java! Semua sepakat menggunakan istilah Java. Java merupakan bahasa gaul di tempat itu untuk menyebut secangkir kopi. Hingga saat ini bahasa program itu dikenal dengan istilah Java dengan logo secangkir kopi.

Begitulah, bahasa program Java yang tersusun secara logis ketat dan ditemukan oleh programer-programer yang memiliki paradigma logika matematis, ternyata namanya muncul dari sebuah ungkapan perasaan atas secangkir kopi. Secangkir kopi panas yang menemani lembur bermalam-malam seorang programer.

Minggu, 04 Juli 2010

Mengapa Kopi Berasa Pahit?

Krups 203-42 Fast Touch Coffee Grinder, BlackBanyak orang tak suka kopi karena rasa pahitnya. ‘Orang namanya kopi, ya pasti pahit,’ begitu komentar pak Karnadi, yang lidahnya sudah terbiasa dengan kopi sembarangan, asal dapat, asal minum, apalagi kalau disuguh.

Memang, ciri khas kopi itu sendiri adalah rasa pahit itu. Pada kopi arabica, dalam kadar yang rendah, rasa pahit itu sendiri dapat mengompensasikan rasa asam, dan karenanya rasa pahit dapat menambah dimensi khas pada karakter secangkir kopi. Namun, pada kadar rasa pahit yang tinggi, secangkir kopi pahit dapat menyapu rata semua komponen rasa lain yang dimiliki oleh biji-biji kopi, sehingga malah menimbulkan dampak rasa yang kurang enak.

Pada hematnya, rasa pahit dari kopi terdeteksi karena terjadi interaksi antara senyawa kimia tertentu dengan bagian tengah agak belakang dari lidah kita manusia (circulvallate papillae). Tajamnya rasa kopi terdeteksi karena terjadi interaksi mendadak antara kopi yang kita minum dengan kandungan protein dalam ludah pada lidah kita.

Makanya, dapat kita mengerti mengapa banyak orang sering salah mengidentifikasi bahwa tajamnya rasa pahit kopi itu atau ciri-ciri rasa lain yang terkandung dalam kopi hanya dengan 'semena-mena' menyebutnya sebagai ‘berasa pahit’. Kopi itu ya pasti pahit .. Itulah kasus komentar dari pak Karnadi, si mantan tukang becak itu.

Di sini kita mau melihat lebih dekat senyawa-senyawa apa saja yang akhirnya membuat kopi itu umumnya berasa pahit dan senyawa-senyawa lain yang bisa membuat kopi lebih tajam lagi rasa pahitnya. Ini kita sarikan dari link internet ini .. coffeeresearch.org.


Beberapa faktor penyebab rasa pahit pada kopi

• Rasa pahit itu terkait oleh proses bagaimana secangkir kopi itu diekstraksikan, atau didapatkan, atau dibuat. Ini berkaitan dengan cara menyangrai, kandungan mineral dalam air yang digunakan untuk menyedu, suhu air, rentang waktu menyedu, ukuran hasil penggilingan dan prosedur dalam menyedu.
• Menurut pakar kopi Voilley 1980:251, rasa pahit berkurang jika kopi disedu dengan air yang telah didistilasikan terlebih dahulu.
• Rasa pahit terkait dengan total volume substansi padat yang terkandung dalam biji-biji kopi.
• Persepsi rasa pahit berkurang jika kopi disedu dengan air panas daripada dengan air dingin. Pengandaiannya adalah bahwa rasa pahit muncul karena anasir aromatik terlepas ketika dipanaskan dalam air, yang melawan semakin tingginya kemunculan rasa pahit (Volley 1980:287)
• Rasa pahit kopi berkurang jika ditambah gula, sodium klorida, atau asam sitrik.
• Kopi robusta (yang kebanyakan diminum oleh orang Indonesia) mengandung unsur kafein dan asam klorogenik yang lebih tinggi daripada kopi arabica. Kedua anasir itu merupakan faktor penyebab munculnya rasa pahit dan tajamnya rasa pahit pada kopi.
• Beberapa peneliti menemukan bahwa proses mengelupas kulit kopi pada tingkat petani (baik dengan proses basah maupun proses kering) tidaklah mempengaruhi tingkat rasa pahit, tetapi proses itu terutama mempengaruhi profil dari cita rasa kopi (flavor).
• Kafein memiliki ciri khas berasa pahit dan memiliki ambang pengujian hanya 75-155 miligram per liter. Sementara peneliti Volley berpendapat bahwa kafein hanya berperan sebanyak 10% saja dalam mempengaruhi derajat rasa pahit.
• Peneliti Hardwick menemukan bahwa rasa pahit kopi berkurang jika dicampur dengan polifenol, salah satu unsur antioksidan yang terkandung dalam buah-buahan dan banyak tanaman pangan yang lain. (Tentu saja kan? Coba campurlah antara kopi dan sari buah atau sari sayur misalnya.)
• Peneliti lain, Maier, menyatkan bahwa rasa asam pada kopi arabica berkurang jika rasa pahit kopi yang bersangkutan meningkat. (Tentu saja. Ini orang bego juga tahu ..)
• Wah, observasi yang lain rasanya terlalu kimiawi teknis banget. Kita jadi kagak ngarti ..

Bagaimana caranya membuat agar kopi tak jadi semakin pahit?

Alat sedu kopi
yang diistilahi 'model drip' ini
kan sering kita lihat
di supermarket itu ..
• Jangan menyangrai sampai jadi terlalu gosong .. Di samping itu, kopi yang disangrai sampai mencapai ukuran tengah (medium) memiliki substansi padat yang lebih sulit mencair, dan juga mengandung lebih banyak unsur asam, serta tentu saja mengandung potensi aroma yang lebih kuat.
• Dilakukan proses dekafeinasi .. Bayangkan kita sedot kafein dari kopi robusta yang melimpah di Indonesia itu ..
• Ketika masih berada pada tingkat pengelolaan pasca-panen di tingkat petani, dianjurkan untuk merendam kopi dalam air segar kira-kira selama 24 jam setelah proses fermentasi. Ini dilakukan oleh para petani di Kenya, Afrika.
• Menyedu kopi dengan sistem ‘drip’ daripada pakai sistem saring Prancis (French press). Intinya: Jangan direndam dalam air panas lebih lama, supaya rasa pahit jangan boleh larut lebih banyak .
• Jangan digiling terlalu halus, tapi kasar-kasar saja, supaya unsur faktor pahit jangan banyak larut ..

Sabtu, 26 Juni 2010

Mengapa Kopi Bisa Berasa Seperti Air Combèran?

Paling kiri: warnanya kuning; tengah: hitam campur hijau.
Saya agak penasaran dengan kopi-kopi beras varietas Robusta yang kurang bermutu yang berasal dari tanaman kopi yang tak diurus oleh para petaninya. Seperti telah saya tulis dalam posting sebelumnya, bertajuk ‘Kopi Campur-campur Cipayung’, tampak terdapat setidaknya tiga perbedaan warna. Teman kerja saya Mbak Dwi melihat ada biji-biji kopi yang berwarna kuning, hijau, dan hitam. Kata dia, mengutip petaninya, yang kuning yang paling enak dibandingkan dengan dua yang lain.

Tapi saya bertanya lagi, sesungguhnya berapa bagian ya yang berwarna hitam, yang telah menyebabkan seluruh kopi rasanya menjadi sama sekali tak enak?

Dua foto dalam posting ini memperlihatkan, ternyata yang menyebabkan kopi jadi tak enak itu nyaris lebih dari separuh bagian dari keseluruhan kopi yang kita dapat dari petani.

Paling kiri + tengah = volume kopi dalam cangkir kanan.













Petani menjualnya dengan harga Rp10ribu. Jika rasanya tak enak, wah, barangkali itu jumlah uang yang tergolong mahal. Sebab, orang tak mau minum kopi yang lebih mirip ‘combèran’ atau ‘air bekas cuci piring’. Hehe itu istilah yang dilatarbelakangi kekesalan ..

Kita semestinya memberi dorongan dan pengetahuan pada petani itu. Tapi mbak Dwi bilang, ‘Dia sudah tahu tentang itu, tapi herannya tetap saja melakukan mencampuraduk kopi merah dengan kopi hijau mentah ..’ Kalau harga yang diterimanya naik, barangkali petani atau pemetik kopi mau memperbaiki cara dan praktiknya memetik buah-buah kopi ..**

Jumat, 25 Juni 2010

Kopi Campur-campur Cipayung

Klik pada foto ini untuk melihat lebih jelas.












“Foto kopi” —maksudnya image foto yang menggambar biji kopi (bukan "photocopy")— dari seorang petani dari Cipayung, Bogor di atas ini memiliki ukuran 640 x 480 pixel, suatu tingkat resolusi yang lumayan jelas (untuk keperluan web, ukuran large). Jadi Anda dapat meng-klik dan melihat lebih jelas. Apa? Coba perhatikan biji-biji kopi yang warnanya lebih gelap. Itulah biji-biji kopi yang semula ketika dipetik masih muda, umumnya masih berwarna hijau.

Tapi, petani perawatnya tidak terlalu memedulikan tanaman dan hasil panennya, sehingga dia asal memetik ketika panen. Dan kemudian mencampuradukkan satu sama lain antara yang tua dan yang muda. Maka tampak jelas pada foto ini campur aduk di antara keduanya.

Setelah dipilah, saya mulai menyangrai kopi muda itu, karena saya merasa penasaran bagaimana sesungguhnya rasa secangkir kopi yang berasal dari biji-biji kopi muda.

Setelah bersusah payah menyangrai, mendinginkan, lalu menggiling dan menyedunya, anjuran saya untuk Anda sekalian sekarang adalah: Jangan coba-coba minum seduan kopi muda.

Kopi seperti inilah yang tidak akan pernah kami sajikan atau tawarkan kepada Anda sekalian. Tapi itu artinya kami harus bekerja lebih keras untuk mengajak petani memilah kopi tua dari yang muda atau masih hijau. Harganya di tingkat petani pun tentunya juga akan naik karena biaya tenaga kerja untuk memilahnya. Sementara kopi muda yang terkumpul lebih baik kita jadikan kompos.**

Kamis, 24 Juni 2010

Cara menyajikan secangkir kopi bermutu

Bagaimana langkah-langkah mendapatkan secangkir kopi bermutu dari para petani dari para keluarga buruh migran yang menanam kopi dan menyajikannya agar juga mencapai mutu standar?

Namun sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu kita jawab dulu apa artinya bermutu dalam hal ini. Apa arti ‘bermutu’ untuk kopi?

  • Di tingkat petani: Hanya biji kopi merah atau telah tua, tidak rusak karena jamur selama penyimpanan, tingkat kekeringan 13 persen
  • Di tingkat warung kopi: Disajikan secara segar, dengan cara disangrai sendiri, digiling kasar, dalam waktu selisih antara giling dan sedu sependek mungkin, bersih dari ampas.

Lalu bagaimana cara menyajikan agar kopi yang sudah bagus dari petani itu sungguh-sungguh menjadi enak dan disajikan mencapai taraf standar .. Berikut ini adalah salah satu pilihan langkah-langkanya ..


Memilah kopi
: Meminta kepada para petani atau organiser petani yang lang-sung bekerja dengan petani untuk memilah buah-buah kopi yang tua berwarna merah dari buah-buah yang masih berwarna hijau. Hal ini penting karena kopi tua memiliki rasa yang lebih enak dan lebih mantap daripada kopi muda. Selama ini para petani condong mencampuradukkan begitu saja, sehingga komposisi komponen rasa jadi merosot, alias tidak enak, dan akibatnya, tentu saja, harganya menjadi murah. Semua ini mereka lakukan pada umumnya karena dikejar keperluan dan kebutuhan hidup, bahkan hutang.

Petani mengelola biji kopi 'seperti biasanya': Langkah berikut adalah mengikuti metode yang selama ini telah dilakukan petani, yaitu mengupas dan menjemur serta menjaga agar tidak berjamur selama dalam penyimpanan. Kopi beras ini dapat bertahan lama. Bisa sampai tiga tahun atau bahkan lebih lama lagi jika dikembangkan cara-cara penyimpanan yang baik. Karena omzet warkop ini sangat kecil dibandingkan dengan dimensi kebun para petani kita, yaitu bahwa kita hanya memesan kopi beras itu dalam jumlah sedikit (±500kg/tahun), maka kita belum bisa membangun kerangka kegiatan pengelolaan kopi pada tahap pasca-panen secara lebih massif dengan berbagai peralatan yang lebih menuntut pembiayaan.

Menyangrai sendiri: Kemampuan menyangrai adalah kunci dari keberhasilan mencapai rasa yang tepat dan khas dari biji-biji kopi yang telah dipilah dengan seksama untuk khusus hanya yang berjenis merah atau tua. Mengapa ini kunci? Karena pada umumnya kita belum dapat menyangrai sendiri dengan cara yang konsisten (derajat panas tetap, gerakan sangrai tetap/teratur). Sesungguhnya jika hendak meladeni lebih banyak, maka ada prasyarat jumlah yang mencukupi keperluan pasar. Tetapi butir ini untuk kepentingan warkop ini tidaklah mendesak. Namun, jika biji kopi tak disangrai secara konsisten, maka rasa kopi (body) bisa berubah-ubah. Kita perlu melakukan standardisasi untuk penyangraian ini. Tidak lagi memadai jika kita menyangrai kopi secara tradisional dengan kuali tanah di atas kayu bakar. Sekarang diperlukan sebuah alat sangrai buatan sendiri –dan karenanya lebih murah— agar dapat mencapai prasyarat konsistensi. Mengapa perlu dibuat sendiri? Karena harga alat sangrai yang konsisten (roasting machine) masih tergolong mahal. Merancang sendiri akan mengeluarkan modal uang lebih sedikit tapi mutu tetap sama.

Kopi hanya digiling, menjelang disedu.

  • Disimpan rapat-rapat. Biji-biji kopi yang telah disangrai harus disimpan di dalam tempat yang rapat dan tidak lembab. Dalam jumlah kecil hal ini mudah dilakukan. Mengapa? Supaya tidak cepat hilang aromanya. Jika disimpan dengan baik, maka pada umumnya kesegaran biji kopi tersangrai ini dapat bertahan selama tiga bulan. Kita hanya menyimpan dalam bentuk ini sebanyak diperlukan.
  • Kapan menggiling? Kopi hanya kita giling menjelang disedu. Selisih satu yang disasarnya misalnya (hanya) satu hari atau beberapa jam saja. Hal ini sifatnya wajib dan tak ditawar, karena aroma kopi mulai keluar atau mengembang terutama hanya ketika biji-biji itu dipecah dalam penggilingan. Aroma itu akan cepat sekali hilang jika tidak segera disedu dan dikonsumsi. Karenanya untuk warkop kita ini, kita larang menyimpan kopi bubuk. Kecuali bisa dicampur dengan bahan-bahan lain (beras, jagung) sehingga tidak murni , kopi bubuk yang dibiarkan sudah lebih dari satu hari, meskipun disimpan atau dikemas dalam tempat yang rapat, telah kehilangan aroma khas kopi yang sesungguhnya begitu kuat. Jika prasyarat kesegaran kopi ini harus dipenuhi, maka kita harus sering menggiling tapi hanya pada waktunya. Penggiling paling sederhana yang kebanyakan orang memilikinya adalah alat penggiling bumbu yang dijual bersamaan dengan membeli blender.
  • Seberapa halus ketika menggiling? Jangan terlalu halus. Sebaiknya semi-kasar (diameter/panjang/lebar: setengah milimeter) Jika terlalu halus, maka aroma kopi itu lebih cepat lagi jadi pudar.
  • Alat kombinasi giling sampai sedu. Dijual peralatan giling-sedu kopi yang tergabung dalam satu unit sehingga kesegaran kopi terjamin, tapi harganya terlalu mahal. Ini bukan pilihan kita.

Menyedu dan menyaring kopi

  • Direbus model Aceh? Kopi yang telah digiling harus segera disedu. Dalam hal ini merebus kopi dalam waktu singkat seperti halnya dilakukan oleh orang Aceh adalah cara yang paling cepat dan lebih mendekati standar. Catatan: Sesungguhnya bubuk kopi akan sungguh mengeluarkan aroma maksimal dan optimalnya jika disedu di dalam air pada suhu kurang dari 100 derajat Celcius. Jadi, setelah air direbus sampai mendidih, dinginkan sebentar, baru kemudian bubuk kopi dimasukkan dan diudek. Tapi ini akan meminta waktu lebih lama. Jangan sampai para pemesan-peminum menunggu terlalu lama ..
  • Disaring dengan kain saringan tahu. Kopi yang telah direbus perlu disaring. Saringan yang tepat dan tak mahal adalah kain saringan tahu yang dipotong dan dirapikan (dijahit), kemudian diletakkan di atas corong plastik kecil yang seukuran dengan cangkir yang dipergunakan. Latarbelakangnya: peminum kopi terganggu ketika sedang minum karena malah disibukkan dengan menyingkirkan ampas bubuk kopi, apalagi bubuk kopi yang sekarang kita anjurkan adalah bubuk kopi yang tak perlu halus itu. Para peminum kopi di kota kebanyakan lebih gemar minum kopi jika secangkir kopinya tak menimbulkan kerepotan (ini kesukaan orang pada yang instan, yang kemudian dilembagakan oleh para pengemas makanan instan)
  • Pilihan ini membuat warkop dapat mendekati penyajian sedu kopi secara ‘standar’ internasional, tapi dengan gaya kampung. Ini sebuah konsep nilai jual yang menjanjikan. Masyarakat dapat minum kopi bermutu dan uenak setingkat dengan Starbuck tapi dengan harga yang murah, nyaris setingkat dengan harga di warung Tegal.
  • Kita harus mampu menyangrai sendiri dalam jumlah yang kita perlukan untuk Warkop itu. Tapi sampai sekarang belum ada alat roaster yang sesuai dengan keperluan kita. Maka kita harus merancang sendiri yang standar. Cara tradisional dengan begitu saja menyangrai biji kopi di dalam panci sudah tak mencukupi, karena condong sangat tak konsisten, tak bika menampung jumlah lebih besar, dll.
Informasi lebih detil tentang kopi dapat dilihat di dalam website ini: The Coffee FAQ: A site dedicated to coffee obsession