Jumat, 17 September 2010

KOPI INSTAN = PERZINAHAN KOPI = KOPI LONT.. @Har Wib, @Agus Edi Santosa, @Agustinus Dawarja

Uncommon Grounds: The History Of Coffee And How It Transformed Our WorldCatatan ini bermaksud menanggapi dan menyambung diskusi yang sedikit berkembang setelah EcosocRightsFB(ERsFB)/mbak Sri Palupi menulis bahwa kopi Manggarai termasuk kopi papan atas dunia (skor citarasa 86,9). Untuk itu dikutip hasil kerja uji citarasa kopi (coffee cupping) yang dilakukan oleh Thompson Owen (http://www.sweetmarias.com/index.php) yang mengelola usaha kopi petik hijau untuk para penggemar sangrai kopi di California, AS. Kopi Manggarai dapat tergolong sebagai “excellent” dalam kategori penilaian SCAA, otoritas kelembagaan yang terkenal di pasar internasional.

Tetapi dalam diskusi itu @Har Wib (izin cross-share) berkomentar bahwa “selera minum kopi dan harumnya itu bukan sesuatu yang alamiah, tapi suatu konstruk sosial yang sifatnya subyektif dan kontekstual”. Apalagi disambung oleh @Agus Edi Santosa (izin cross-share) bahwa yang ditulis oleh ERsFB itu “kecap no.1”, hehe .. tapi @Agus Edi Santosa juga mengusulkan sebaiknya ada barometer lain, karena dia ini tampaknya lebih suka kopi Takengon, yang juga tergolong papan atas dunia kopi .. (skor citarasa 86,3; hanya 0,6 selisihnya dibanding kopi Manggarai).

Mengutip Tom Owen sendiri, dia mengaku bahwa panca indera (+akal sehat) kita sendiri yang akan menentukan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Tom dengan mempublikasikan hasil skoring penilaiannya adalah kejujurannya mengungkapkan mengapa dia kulakan kopi yang ini dan bukan yang itu, mengapa dari tempat sangat jauh di Oakland dia mengunjungi sampai ke pelosok Bandung Utara atau ke Toraja, dan banyak kebun kopi lain di negara-negara lain. Pada hemat kami, semua pertanggungjawaban metodologis dia sampaikan secara terbuka. Juga perbaikan metode skoring yang diusulkannya, dan permintaannya kepada para pembaca agar sebaiknya tak mencemooh penamaan kategori yang dicobanya yang bisa kedengaran sangat aneh dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Mohon diacu link berikut: Our New Coffee Scoring System - http://www.sweetmarias.com/coffee.reference.php.


Pertanyaannya: Apakah layak memperbeda-bedakan mana yang lebih enak antara Manggarai dan Takengon? Kecuali perbedaan skor-nya ternyata sangat kecil, bukankah kedua-duanya memiliki ciri khas kenikmatannya masing-masing? Citarasa kopi yang sejati juga akan kehilangan makna dan esensinya jika (hanya) dicecap, dihitung dan direduksi menjadi angka skoring, apalagi jika hanya untuk kepentingan agar laku dijual.


Maka untuk @Agus Edi Santosa, percayailah indera-inderamu bahwa kopi Takengon pasti paling top-markotop (jangan pedulikan kalau ada orang bilang kopi Manggarai lebih enak ..). Kami berharap akan segera mendapatkan alternatif ‘barometer’ penilaian terhadap kopi Manggarai dan kopi-kopi lain yang kami tawarkan kepada Anda sekalian. Ini menindaklanjuti usul dari @Agus Edi Santosa. Dan, mudah-mudahan sebentar lagi koperasi kami mampu membeli/mendatangkan dan melayanimu untuk mendapatkan kopi Takengon itu dari para kontak kami buruh-buruh kebun kopi yang juga jadi korban kekerasan TNI ketika bentrok TNI-GAM terjadi.


Kembali kepada fokus tulisan ini, pendapat @Har Wib dengan demikian jadi lebih mudah difahami karena dalam masyarakat kita terdapat praktik yang sangat marak yang kiranya dapat ditengarai dengan fenomena “perselingkuhan, perzinahan atau bahkan melacurkan kopi.” Ini fakta keras dan nyata yang sulit dibantah. Apa yang dimaksudkan di sini tak lain adalah salah satu wujud “konstruk sosial” itu, yang pada hematnya tidak hanya “subyektif & kontekstual”, tapi sebenarnya bersifat struktural dengan melibatkan peranan para pemodal besar dan tak memadainya sikap, perencanaan, pelaksanaan dari program-program pemerintah terhadap budidaya dan budikelola kopi rakyat.


Lalu, mengapa kami sebut “melacurkan kopi”? Karena orang menjual integritas kopi hanya untuk mendapatkan keuntungan (yang tak seberapa). Dengan mendahulukan kopi instan, misalnya, maka sesungguhnya integritas suatu perusahaan sangat dipertaruhkan. Kenyataan ini lebih sering dibenarkan karena kepentingan “mass market” atau dengan istilah lebih umum (lebih gelap): “segmentasi pasar”. Jujurkah? Tentu saja, tapi juga sangat bergantung pada konteksnya. Kenyataan sehari-hari tentang kopi itu sendiri memperlihatkan kita bahwa kopi yang telah jadi bubuk akan sangat cepat kehilangan aroma dan citarasa aslinya. Maka, bubukkanlah kopi hanya jika akan menyeduhnya. Menggiling kopi adalah praktik mudah yang jelas bisa dilakukan di rumah dengan alat grinder pada blender di dapur Anda.


Lalu, mengapa “perselingkuhan atau perzinahan kopi”? Karena, dengan alasan kepraktisan terdapat praktik orang dan perusahaan-perusahaan besar suka dan begitu saja menyajikan produk dalam bentuk kopi yang telah digiling sangat halus sehingga tak bisa lagi diketahui apakah di dalamnya dicampur(aduk)kan (diselingkuhkan/diperzinahkan?) dengan bahan-bahan lain, seperti jagung, beras; sementara itu, pada bungkus kemasan tidak dinyatakan secara eksplisit apakah komposisi kandungannya (ingredients). Melanggar UU Pangan 1996?

Menyaksikan kedua fenomena sehari-hari di sekitar kita ini, kita jadi maklum dengan dampaknya pada sikap orang untuk lebih mudah dan lebih suka menyembunyikan diri di balik argumen “selera” (de gustibus non est disputandum). Namun, tentang “selera” ini, kami sudah membahas pada posting blog kami bertajuk Citarasa Kopi (http://kopigunung.blogspot.com/2010/07/citarasa-kopi.html) tentang dasar-dasar yang memungkinkan kita memberikan penilaian yang lebih “objektif” terhadap berbagai jenis kopi yang ada, apalagi untuk konteks Indonesia yang jelas-jelas sangat aneka ragam dan belum semuanya terkuak bahkan di antara para “aktivis” (cross-share: @Agustinus Dawarja). Lihat juga links FB Koffie Goenoeng Fairtrade. - http://www.facebook.com/profile.php?id=100001556796767&v=app_2309869772


Bagaimana pun kami tak bersedia tunduk pada perdebatan yang berhenti pada konsep “selera” lalu dibiarkan begitu saja kembali kepada masing-masing individu. Sebab, kami melihat bahwa “kopi itu adalah juga fakta”, karena dalam berbagai bentuknya (ketika masih di pohon sampai di meja minum) pada dasarnya kopi itu bisa disentuh, dipegang, dicerap baunya (aroma-nya), dirasakan-dicecap-dicicip seduhan-nya, ditinjau penampilannya, bisa diperiksa asal-usulnya, sejarahnya, dianalisis secara filsafat (ga percaya?).


Nah, kalau tak bisa kita tolak bahwa kopi itu adalah fakta, maka akal budi dan pancaindera tentunya dapat kita pergunakan untuk mendeskripsikannya kan? Maka tentunya pula mendeskripsikan kopi adalah tugas 'rasional' yang sangat menantang untuk mereka yang senang mengamati, mencecap dan menjelaskannya dengan kekuatan akal budi ..


Kami juga melihat bahwa di antara para pegiat hak-hak rakyat, termasuk yang menyatakan diri mereka bekerja dan membela para petani (termasuk petani kopi, kan?), kebanyakan minum kopi sembarangan, bukan kopi langsung dan asli dari para petani kopi yang mereka perjuangkan nasibnya di pelosok-pelosok desa. Seperti telah diketahui umum, sachettes kopi itu tersedia di mana-mana di dekat Anda sekalian tinggal. Ketika kami tanyakan hal ini, ada yang mulai memberikan penjelasan bahwa tak tersedia pilihan lain, atau belum ada pihak yang mempermudah praktik apreasiasi kopi petani kita. Semoga ini bukan mengarah juga kepada preferensi kebablasan yang telah dibentuk oleh para penguasa besar kopi yang lebih melayani kemalasan masyarakat dengan cara mengobral maraknya kopi sachette itu .. Lihat saja di rak-rak gerai pasar-pasar swalayan besar.


Praktik ini jelas sangat menjauhkan masyarakat dari apresiasi kopi sejati, bahkan mengelabui dan memperbodoh masyarakat, terutama terkait dengan kemampuan manusia pada fakultas inderawinya dalam mencecap, merasakan, membaui, mencium keanekaragaman kopi kita di Indonesia. Maraknya praktik kopi instan yang didukung oleh kekuatan modal ini sudah sangat jauh mengikis dan memiskinkan manusia dari kemampuan inderawinya apakah lagi pemahaman dan kesadarannya. Dan para pegiat hak rakyat tak kecuali .. mereka umumnya tak menggunakan kemampuan indera perasa dan penciumnya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat .. **


ACUAN

* PRE GROUND THE DEVILS WORK, OR A STAIRWAY TO HEAVEN? – (http://www.hasblog.co.uk/pre-ground-the-devils-work-or-a-stairway-to-heaven)
* Starbuck’s Instant Coffee Angers Baristas --(http://hubpages.com/hub/Starbucks_Instant_Coffee_Angers_Baristas)
* Just Brew It: Starbuck's Instant Coffee Gamble, Feb16,2009 --(http://www.huffingtonpost.com/val-brown/just-brew-it-starbucks-in_b_167171.html)
* Is Starbuck’s Instant Coffee a Smart Business Model Innovation? April16,2009 – (http://www.plantescompany.com/blog/comments-on-current-business-news/is-starbucks-instant-coffee-a-smart-business-model-innovation/)
* Starbucks Begins Selling Via Ready-Brew Instant Coffee Online ~ (http://hubpages.com/hub/Starbucks-Begins-Selling-Via-Ready-Brew-Instant-Coffee-Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar