Minggu, 28 Juli 2013

Kopi, Si Anggur Islam

Teko kopi Arab
Kebanyakan peminum kopi dewasa ini tidak lagi sadar bahwa kopi sesungguhnya adalah warisan dari tarekat-tarekat Sufi yang berkembang di jazirah Arab bagian selatan. Kita kenang jasa anggota tarekat Shadhiliyya karena telah menyebarluaskan kebiasaan minum kopi di seluruh jagad Islam di antara abad 6-8 Hijriah (abad 13-15 Masehi) [13 (596H) dan 15 Masehi (802H)] atau akhir abad ke-6 sd 8 Hijriah. Semula ada seorang pemuka tarekat Syadhiliyyah berkenalan dengan keberadaan kebiasaan minum kopi di Etiopia. Tanaman kopi di sana dikenal sebagai semak-semak yang tumbuh di dataran tinggi, begitu pula buah-buahnya dan minuman yang dibuat dari biji-biji buah itu disebut dengan nama ‘bun’.

Sejarawan memperkirakan sufi yang dimaksud itu adalah Abu’l-Hasan ‘Ali ibn Umar. Ia pernah tinggal di istana Sadaddin II, seorang sultan di Etiopia Selatan. `Ali ibn Umar kemudian kembali ke Yaman dengan membawa pengetahuan bahwa buah-buah kopi itu tidak hanya bisa dimakan tapi juga memiliki khasiat bisa bikin orang melèk, melawan kantuk. Sampai hari ini `Ali ibn Umar dimeteraikan jadi pelindung suci bagi petani kopi, pemilik kedai kopi dan para peminum kopi. Di Aljazair kopi sering disebut juga dengan kata “shadhiliyya” untuk menghormati `Ali ibn Umar.

Cairan untuk diminum itu kemudian dikenal dengan nama ‘qahwa’, pakai huruf awal ‘qaf’, suatu istilah yang semula diacukan untuk cairan terfermentasi seperti yang terbuat dari buah-buah anggur. Cukup masuk akal, akhirnya, masyarakat kulit putih di Eropah saat itu memperbandingkan dan menyebutnya sebagai “Anggur Islam”. Minuman itu terkenal meluas di kalangan para sufi. Mereka merebus bubuk biji kopi dan meminum air terseduh untuk membuat diri mereka terjaga selama berzikir di malam hari. Ketrampilan menyangrai kopi sendiri kemudian dikembangkan bukan oleh orang-orang Arab ini, tetapi oleh orang-orang Persia, meskipun dikenal juga kebiasaan sangrai dilakukan kemudian oleh orang Turki.

Ulama dan sufi tersohor Sayyid Abu Bakr Al-Aidarus, keturunan kedelapan dari Nabi Muhammad SAW, sangat terkesan dengan dampak (baik) yang ditimbulkan oleh kopi sehingga kemudian ia menuliskan sajak-kasidah tentang kopi. Para pecinta kopi bahkan menambahkan suatu istilah karena euforia yang bisa ditimbulkan oleh kopi, yi marqaha. Sekarang yang disebut ‘marqaha’ dikenal sebagai suatu minuman atau cairan yang memberi efek seperti ganja, mariyuana, dll.

Ulama dan sufi tersohor yang lain, bernama Shaikh ibn Isma'il Ba Alawi of Al-Shihr, menyatakan bahwa mengonsumsi kopi, jika dibarengi dengan doa dan devosi yang intens, dapat membawa orang kepada pengalaman yang disebutnya dengan “al-qahwa al-ma`nawiyya” (kopi yang paling luhur) dan “al-qahwa as-sufiyya”. Kedua istilah itu memiliki arti yang sama dan saling dipertukarkan, yang berarti “pengalaman ‘kopi’ yang paling luhur”, “suatu kenikmatan bagi mereka yang percaya pada Allah, merasa melihat misteri yang tak tersingkap dan mencapai suatu pengalaman keindahan dan menerima wahyu yang tak terperi.”

Para sufi Shadiliyya juga aktif bekerja dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Karena mereka mengutamakan pelayanan pada masyarakat, Syeikh Abu al-Hasan ash-Shadhili enggan untuk menerima seorang mahasiswa yang belum pernah bekerja. Dari kejadian itu kita tahu, keberhasilannya dalam bekerja sangat terbantu oleh manfaat meminum kopi sebelum bekerja. Manfaat kopi dapat dirasakan karena meningkatkan mutu kerja seseorang dan berpengaruh terhadap ekonomi setempat. Iklim di jazirah Arab bagian selatan sendiri ternyata sangat cocok untuk budidaya kopi, didukung oleh adanya pelabuhan di Yaman yang bernama al-Mahka (asal kata 'mocha'/mokha?) sebagai dunia dagang para eksportir kopi.

Konsumsi kopi meluas di Mekkah. Sejarahwan Arab mencapai kopi diseduh dan diminum di lingkungan Masjid al-Haram. Sangat jarang orang berzikir atau maulidan tanpa menyediakan kopi. Kopi kemudian menyebar lebih luas lagi di seluruh dunia Islam bersamaan dengan para peziarah, pedagang, mahasiswa dan pelancong. Al-Azhar di Kairo (al-Qāhira) jadi pusat kaum Muslim minum kopi. Bersamaan dengan menikmati kopi mereka  mengadakan upacara tertentu untuk merayakannya. Di Kairo saat itu orang menikmati minum kopi tiap Senin dan Jum’at. Kopi diseduh dalam bejana berukuran besar, terbuat dari tanah liat. Pemimpin menuangkan kopi dengan teko kecil ke dalam cangkir-cangkir kecil dan memberikannya kepada masing-masing agar dinikmati, mengoperkan satu cangkir ke seseorang yang berada di sebelah kanan dari masing-masing, sementara semua secara bersama-sama mengujarkan “La illaha illAllah ..”

Terdapat juga tradisi lain dalam ritual doa kaum Sufi dari Yaman yang dilakukan sambil menikmati kopi, dibarengi pendarasan ratib, suatu doa berulang sampai 116 kali untuk mengujarkan nama ilahi ‘Ya Qaawii ..’ kepada Allah Sumber Segala Kekuatan, suatu zikir penuh doa dilafazkan dengan lantang dan penuh makna kedalaman.

Bahkan kopi juga mendapatkan jejuluk minuman para malaikat. Menurut legenda Persi, kopi untuk pertama kalinya diberikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ktk beliau sedang mengantuk. Ada juga ceritera lain mengisahkan Raja/Nabi Sulaiman menuju ke sebuah kota yang penduduknya sedang menderita suatu penyakit misterius. Karena perintah Jibril, Sulaiman kemudian menyiapkan seduh kopi tersangrai dan meminumkannya kepada para penderita penyakit itu dan mereka sembuh.

Abad 9 Hijrah (abad16M) budaya minum kopi masuk tahap dunia sekuler. Muncul lembaga baru yang mengubah pola kehidupan sosial di seluruh dunia Islam. Rumah-rumah kopi tidak hanya memerlukan biji-biji kopi tapi sekarang juga memerlukan peralatan dan perlengkapan, kecakapan menyeduh kopi dan mengembangkan pola hubungan sosial baru yang memungkinkan orang untuk menikmati kopi. Ahmad Pasha, salah satu gubernur Mesir pada abad 10 Hijrah (abad 16 Masehi) (905H), akhirnya mendirikan kedai-kedai kopi sebagai suatu ikhtiar kerja kemasyarakatan, dan karenanya secara politis gubernur jadi sangat populer. Pertengahan abad 11 Hijriah (abad 17 Masihi) dua orang saudagar dari Siria, yaitu Hakim dan Shams, memperkenalkan kopi ke Istanbul di Turki. Mereka inilah orang-orang yang paling awal mendirikan kedai-kedai kopi di Turki, mendapatkan banyak keuntungan dan membentuk suatu arena kegiatan dagang baru yang menguntungkan sebagai suatu kegiatan perdagangan. Penjelajah-penulis Evliya Effendi (wafat:1044H) dari Turki mencatat bahwa “ada ratusan pedagang kopi dan mungkin puluhan rumah kopi. Mereka jadi saudagar-saudara kaya dan terkenal, dilindungi oleh Syeikh Shadilie. Sementara Syeikh Shadilie dilindungi oleh sufi tersohor Uwais al-Qarani yang hidup pada zaman dan direstui oleh Nabi Muhammad.”

The nectar of sufism
Selama abad-abad pertama sejarah Islam, popularitas kopi yang sangat meluas itu menimbulkan kontroversi. Banyak orang curiga pada efek kafein dan dampaknya pada persekutuan zikir yang meminum kopi. Stlh minum kopi, orang tampak berperilaku “terlalu duniawi” (?) dan bersikap “subversif”. Kedai-kedai kopi bersaing dengan masjid-masjid. Kaum muslim lebih suka nongkrong di kedai daripada beribadah di masjid. Para pengunjung kedai kopi berubah jadi orang-orang “cerdas” dan seolah-olah jadi “terpelajar”, sehingga kedai-kedai kopi dicurigai jadi lokasi yang melahirkan semangat untuk berontak, atau setidaknya bermimpi untuk merdeka dari kekuasaan yang ada. Orang berseloroh dengan menyebut kedai-kedai di Istanbul itu sebagai “mekteb-i `irfan” atau “mazhab pengetahuan”. Perlu waktu selama lebih dari seratus tahun untuk sampai akhirnya diakui secara publik bahwa kopi itu beracun dan dilarang dalam hukum Islam.

Sejarawan Evliya Effendi menulis begini: “ .. kopi adalah suatu kebaruan, suatu dzat yang membuat manusia mampu melawan kantuk dan menimbulkan kekuatan pada manusia. Kedai-kedai kopi itu juga jadi tempat sumber kebingungan. Berbagai fatwa dikeluarkan untuk melarang kopi, dinyatakan secara hukum sebagai tidak sah. Malah sampai ada fatwa bahwa semua hal yang disangrai, dipanaskan (sebelum dikonsumsi) adalah sejenis makanan atau minuman ilegal.”

Selama Ramadhan th 945 Hijrah (1539 Masihi), kedai-kedai kopi di Kairo di-sweeping dan ditutup, meskipun hanya untuk beberapa hari. Segera setelah kedai-kedai kopi di Konstantinopel itu jadi sangat populer, Sultan Murat IV mengambil kebijakan menutup semuanya. Kedai-kedai kopi hilang sampai akhir abad 10 Hijrah (akhir abad 16 M). Tapi para saudagar itu memindahkan uang, modal dan pola kehidupan sosial di sekitar kedai ke tempat-tempat lain. Di Brussa [letaknya di Turki: http://bit.ly/15yKcHy], tak seberapa jauh dari Istanbul, ke arah selatan, dibuka 75 buah kedai kopi yang kemudian rutin dikunjungi oleh warga setempat yang paling bergengsi dan paling terpelajar. Semua kedai kopi, terutama yang berdekatan dengan masjid agung, dipenuhi oleh para seniman .. Kedai-kedai itu jadi terkenal hanya karena kedai kopi di Istanbul dilarang secara serempak oleh Sultan Murat IV.

Meskipun berjuang keras, para moralis kalah menghadapi tentangan para peminum kopi yang juga kaum terpelajar yang berasal dari lapisan masyarakat klas atas dalam bidang keagamaan dan politik yang tidak menyukai adanya larangan hukum yang ditetapkan penguasa. Ada pelayanan yang disebut “meja tanpa anggur” menawarkan suatu tempat bertemu yang terhormat untuk siapa pun agar bisa mengembangkan hidup secara sosial dan mendapatkan suatu (jenis) hiburan yang tak akan mereka peroleh kalau hanya di rumah. Selama bulan-bulan Ramadhan, kegiatan dagang justru semakin hidup, ketika para pemilik modal melakukan usaha tambahan menarik khalayak dengan adakan pertunjukan mendongeng dan tonil boneka.

Kediaman para sufi Helveti di Turki ..
Meskipun kopi sudah masuk ke dunia sekuler, kecintaan pada kopi di kalangan lingkaran sufi dan motivasi mereka untuk tetap menikmatinya tidaklah kemudian pudar. Para sufi Helveti tergolong di antara mereka yang tetap antusias minum kopi untuk meningkatkan stamina tubuh mereka agar sanggup melakukan perayaan zikir dan renungan-renungan pedalaman batin [rumah para sufi Helvetii? >> http://bit.ly/14LKR7w]. Setelah kopi menyebar ke seluruh Kekhalifahan Otoman, kopi menjadi minuman “wajib” keseharian dalam kehidupan para sufi mazhab Helveti (didirikan oleh Mahmud Hudayi [940-1037Hijrah; 1543-1628Masihi] di Turki). Dikenal ada legenda tentang manfaat baik dari kopi jika diminum pada pagi hari ..

«Mosslahuddin Mergez, pemimpin tarekat sufi Khalveti [di Turki] .. pernah berkata kepada kaum fakir, “Saya mendengar dari dalam tanah suara yang berkata: ‘Ya Syeikh! Aku ini sumber air berwarna merah yang kini terbelenggu di dalam tanah ini selama tujuh ribu tahun, dan saya ditakdirkan untuk keluar dari dalam tanah ini ke atas permukaan bumi karena jasa upayamu menjadi penawar demam. Berupayalah melepaskanku dari penjara bawah tanah ini.” Setelah mendengar ceritera itu, para fakir itu mulai menggali sumur untuknya, dan kemudian muncrat keluar air berasa manis dan segar berwarna merah. Jika diminum pada pagi hari bersama dengan kopi, seduh itu menjadi penawar demam. Air seduh itu kemudian dikenal di seluruh dunia dengan nama Ajasma Mergez.»

Di Persia, kedai-kedai kopi berkembang justru menjadi tempat maksiat penuh pergunjingan politik, begitu kopi diperkenalkan di sana. Syah Abbas I menanggapi masalah itu dengan menugaskan seorang mullah untuk menjadi ustaz untuk mereka yang tinggal di sebuah gedung penting di Isfahan [di mana di gedung itu juga terdapat kedai kopi]. Mullah itu hadir pagi-pagi benar di masjid, mengudar ajaran agama, sejarah, hukum dan sajak. Lalu ia mendorong mereka yang menghadiri kuliah subuh itu untuk tidak bekerja. Situasi penuh kesalehan berkembang. Untuk kedai-kedai kopi yang lain pun didorongnya melakukan yang sama, sehingga dapat menjadi teladan bagi yang lain. Begitu juga untuk lingkungan sosial lain yang rawan. Para penyair dan sufi ada yang menetap di sana, misalnya Mullah Ghorur dari Shiraz kemudian menetap di Isfahan ketika beliau sudah lanjut usia dan dia juga membuka kedai kopi, dan sekaligus menjadi tempat berkumpul untuk mereka yang ingin mendapatkan bimbingan ruhani.

Pada abad 11 Hijrah (abad 17 Masihi) penjelajah asal Prancis, Jean Chardin, menceriterakan detil keadaan di kedai-kedai kopi di Persia. “Orang-orang terlibat dalam berbagai pembicaraan, karena di situlah semua kabar baru disampaikan dan mereka yang tertarik pada persoalan politik mengecam pemerintah dengan bebas tanpa takut, karena kekhalifahan tak memedulikan apa pun yang dipergunjingkan orang. Di situ orang juga bermain sejenis halma, catur atau main jingkat. Lalu para mullah, sufi dan penyair mengisahkan berbagai ceritera dalam sajak atau prosa. Ceritera para mullah dan para sufi berisi ajaran moral, seperti halnya khotbah para pendeta [di Prancis], tapi di sana jika orang tidak memerhatikan, orang tersebut tidak dipandang membuat skandal. Tak seorang pun dipaksa untuk menghentikan permainan yang sedang asyik mereka lakukan atau asyiknya obrolan. Seorang mullah kemudian maju dan berdiri di tengah-tengah ruang atau di sudut kedai kopi itu. Ia mulai berdakwa dengan suara lantang, atau ada juga seorang sufi darwis tiba-tiba saja langsung memasuki ruang kedai, dan ia mulai menyampaikan kefanaan dunia dan semua isi materinya. Sering terjadi ada dua atau tiga orang berbicara bersama-sama. Yang satu berdiri berseberangan dari yang lain. Anda tak akan tahu apakah yang satu akan berdakwa atau yang lain akan mendongeng.”

Biji-biji kopi akhirnya dibawa bepergian ke berbagai tempat. Cukup dengan menyimpannya di dalam koper. Anda pun dapat melakukannya. Ini beberapa catatan sejarah: Kopi sampai di Venesia tahun 1615, Marseilles 1644, London 1651. Tapi semua itu tak jadi apa-apa di tengah masyarakat klas atas Eropah sebelum 1669, ketika duta besar Turki, Sulaiman Mustafa Koca, memperkenalkan kopi pada warga penghuni kota Paris. Akhir abad 17 kopi sudah jadi “trend of the day” di seluruh Eropah, dan hasrat untuk membudidayakannya menyebar ke dunia baru di benua Amerika, terutama Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kopi nyaris selalu diperkenalkan sebagai bagian dari pralambang keramahtamahan dan sarana yang mendorong perkembangan kehidupan sosial. Dewasa ini peranan kerja pemasaran yang agresif membuat kopi semakin populer menyebar ke seluruh sudut dunia. Kopi juga mengandung kerinduan pada persekutuan para sufi Shadziliyyah enam abad yang silam ketika mereka menghayati dan merasakan betapa dahsyatnya kemahabesaran Allah sambil saling berbagi seteguk demi seteguk emulsi kopi yang lezat itu .. **

Acuan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar