Sabtu, 31 Desember 2011

‘Geografi‘ Citarasa Tembakau di balik Pahit Manis Kopi Arabika Lembah Sumbing-Sindoro

Judul tulisan bukan terutama karena mau menyindir kehadiran kopi arabika di lembah kedua gunung berdampingan di Jawa Tengah ini di balik ‘kisruh masalah politik ekonomi budidaya tembakau’, tapi barangkali memang tak keliru tengara citarasa kopi berkelas internasional dari kawasan ini jika Anda cecap sendiri.

Penasaran bagaimana rasanya? Ini percobaan identifikasi yang kami setelah mencicip pertama kalinya (tadi pagi):
bercitarasa tembakau, palawija, berasa tingkat keasaman sebagai tanda ‘bersemangatnya’ kopi meski disangrai pada tahap medium dark, earthy note, body, aroma dan rasa manis karamel di balik rasa pahit mengambang. Itulah tengara awal dari citarasa kopi ini yang masih sangat terbuka pada koreksi dan penyempurnaan penjabaran karakternya.

Varietas kopi yang ditanam Lini S dengan catatan citarasa lebih baik daripada kopi Catimor-Ateng yang secara lokal di wilayah ini diperkenalkan dengan nama “kopi Kate”, pemetikan dilakukan sampai 8-10 kali. Usia tertua kopi Kate sudah sampai 11 tahun, dan masih sangat produktif, meskipun umumnya dikenal sudah harus diremajakan setelah usia 10 tahun. Ketinggian dari permukaan laut: 1200-1500 meter.

Pembudidaya getol sekaligus pecinta kopi: Pak Ismanto, di desa Tlahap, sekitar empat kilometer sebelum Kledung Pass. Mulai berkenalan dengan kopi awal 1990-an, dikenalkan oleh para mahasiswa yang kerja nyata di situ. Karena semangatnya, Ismanto mengajak ratusan orang tetangganya menanam.

Keberhasilannya menanam kopi, mendorong pemerintah daerah tingkat kabupaten dan provinsi untuk memperhatikan kopi, sudah sampai dapat mencapai kapasitas sekitar sampai 35 ton kopi biji ose (green beans). Budidaya kopi sudah sampai mencapai beberapa desa, tapi yang paling responsif adalah desa asal Ismanto, yi desa Tlahap. (temanggungkab.go.id, 16/6/2010: Panen Kopi Petik Merah di Desa Tlahap)

Dukungan program pemerintah setempat untuk pembibitan dan komponen-komponen lain pendampingan petani telah membuat pemerintah mampu membanggakan kawasan lembah Sumbing-Sindoro ini menjadi pemroduksi kopi arabika terbaik dan terbesar di Jawa Tengah. (AntaraJateng/BeritaDaerah, 25/10/2009: Tanaman Kopi Upaya Selamatkan Kawasan Sumbing-Sindoro.

Pariwisata ~ Kledung Pass: dataran agak luas, antara tempat peristirahatan untuk para pelewat berkendaraan, kepadatan cukup tinggi, pemandangan alam yang meredakan keletihan perjalanan, udara segar pegunungan tinggi, potensi kuliner, ada dua tempat penawaran, dengan julukan ‘Coffee Trade Center’ (tampaknya aktif selama bulan-bulan panen, pertengahan tahun); sayang, belum menawarkan sajian seduh kopi standar; agrowisata?; tak menawarkan sampel kopi biji hijau; info sangrai kopi tak tertera.

Dari pembicaraan cepat dengan beberapa orang petani, berasa sekali adanya persaingan kepentingan budidaya di antara beberapa tanaman komoditi yang terkait dengan subsistensi kehidupan petani setempat. Para petani di kawasan ini (Temanggung) telah lama dan masih juga berlaku saat ini bahwa mereka dikenal getol menanam tembakau. Budidaya tembakau sudah berlaku puluhan tahun. Ini fakta sejarah yang tak terbantahkan sehingga terbangun nilai yang mendalam. Ada anekdot yang nyaring terdengar, bahwa para petani tembakau jika berhasil bisa sampai menjajakan hasil panennya untuk membeli mobil Mercedez (!). Namun, jika gagal, ada kepercayaan seperti di Jember, Jatim, petani yang bersangkutan terpaksa jadi TKI atau bunuh diri. Ada sementara anekdot kepercayaan, bahwa jika seseorang belum pernah menanam tembakau, ia tak layak menyebut dirinya sebagai petani. Tampaknya ini sungguh pernah terjadi, suatu perilaku tak bijaksana yang sangat sering diidap oleh para petani tanaman komoditi.

Pemerintah belakangan ini juga melawan budidaya tembakau, terkait dengan agenda kesehatan dan konservasi. Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo termasuk eksponen yang melawan penanaman tembakau. Petani tembakau dan jaringan pengusaha rokok mestinya dan tentunya protes. Budidaya tembakau juga dikritik merusak lingkungan, terutama dengan menyorot bukaan lahan yang kurang disertai tegakan pohon yang akar-akarnya mampu menahan erosi. Para penanam tembakau dan pendukung mereka (pabrik-pabrik rokok, LSM, asosiasi petani tembakau) protes dan melawan tindakan pemerintah yang mereka pandang secara sepihak menyudutkan. Gerakan perlawanan petani tembakau meluas seluruh Jawa. Perlawanan mereka masih berlangsung sampai sekarang seperti kejadian protes mereka di Kendal, Jateng (Kompas, 22 Desember 2011: Petani Tembakau Blokade Pantura Jateng).

Dari sisi agronomi, agar berhasil menanam tembakau sebagai tanaman semusim, petani tak bisa tidak, karena telah menanamkan modal tak sedikit, harus merawat ladang tembakau secara relatif intensif, di antaranya adalah memberikan pupuk kandang, suatu praktik cocok tanam yang sesungguhnya memerlukan modal tak sedikit. Ekses pupuk kandang ini tampak jelas juga melimpahkan sisi nutrisional bagi kebaikan kondisi tanah dan dampak positifnya terhadap tanaman-tanaman lain yang dibudidayakan, termasuk di antaranya kopi arabika. Tembakau, karena dikelompokkan sebagai tanaman semusim, tak dicakupkan sebagai tanaman perkebunan, alias bukan urusan dari dinas perkebunan. Karena tembakau juga bukan digolongkan sebagai tanaman pangan (karena tak dikonsumsi sebagai kebutuhan dasar karbohidrat, protein), maka juga tak menjadi urusan dinas pertanian untuk tanaman pangan. Regulasi tembakau justru diangkat oleh pemerintah dalam fungsi kontrolnya dengan dalih kesehatan. Karenanya, para petani tembakau memiliki suatu independensi di luar cakupan kinerja pemerintah. Mereka langsung terkait dengan ekonomi pasar terbuka dengan para pebisnis bermodal besar produksi rokok. Ingat bahwa cukai rokok secara nasional telah menyumbangkan prosentase yang sangat besar pula: 54persen dari nilai APBN? Produksi rokok nasional juga melibatkan jutaan buruh pabrik rokok dan keluarga-keluarga miskin di Jawa. (Nour Payapo: 'Paradoks, Cukai Rokok Pemasok Rp 62,7 triliun APBN 2011', Kompasiana 1 Juni 2011.

Namun, para petani seperti Ismanto tampak sadar akan potensi ekonomi dari hasil budidaya kopi arabika, sehingga mereka pikir apa salahnya jika juga menanam tanaman lain secara tumpang sari (termasuk hortikultur sayuran), suatu kebiasaan yang memang telah menjadi kebiasaan dan tradisi para petani di Jawa. Petani seperti Ismanto sesungguhnya termasuk petani yang tak memiliki tanah yang lebih luas dibandingkan dengan ekspektasinya untuk memenuhi keperluan rumah tangga dengan beberapa anak. Ismanto menggarap tanah seluas sekitar 7000meter persegi (petani Jawa umumnya memiliki tanah kurang dari setengah hektar) yang kini sudah dirasakannya tak lagi mencukupi dibandingkan dengan cakupan kemampuannya dalam membudidayakan kopi. Kehadiran puluhan ribu tanaman kopi di kawasan ini pun akhirnya dirasakan mendesak kepentingan para petani tembakau. Ismanto mengaku pernah diminta menjalankan kewajibannya sebagai warga negara untuk bersaksi di hadapan Mahkamah Konstitusi untuk menyingkap kebenaran yang dilihatnya sebagai petani kopi sehubungan dengan benarkah di kawasan lembah Sumbing-Sindoro ini para petani tembakau sedang didorong-dorong untuk mengganti budidaya tembakau menjadi budidaya kopi (‘Demo Petani dan Aliran Dana Pabrik Rokok’, Liputan Khusus Kompas 2010 tentang Siapa Dalang di Balik Kisruh Tembakau). Jawaban Ismanto mengarah dan bertahan pada kebenaran sistem tumpang sari yang berdampak pemerataan pemanfaatan lahan. Kopi arabika ditanam dalam jarak tanam yang lebih lebar (setiap lima kali dua meter) di lahan-lahan milik petani sendiri sehingga palawija dan mestinya juga tembakau masih dapat dibudidayakan. Ismanto sendiri mengaku jika kopi nekad dibudidayakan secara tunggal dalam cakupan waktu jangka panjang akan menawarkan keuntungan finansial yang lebih besar daripada budidaya tembakau.

Budidaya tanaman palawija tampak jelas memberikan manfaat positif pada budidaya kopi. Budidaya palawija secara ‘bersejarah’ (tradisional?) telah membuat para petani lembah Sumbing-Sindoro memiliki kebiasaan mengolah tanah. Tanaman kopi tumbuh subur di lahan-lahan yang terurus itu. Apakah dapat dikatakan bahwa keberhasilan budidaya kopi ‘berhutang’ pada budidaya palawija? Budidaya tembakau, yang pengelolaannya lebih mirip dengan budidaya palawija karena tembakau adalah tanaman semusim, malah mendorong petani lebih banyak lagi memberikan pupuk kandang di atas lahan budidaya tembakau. Ekses pupuk tentunya bermanfaat untuk tanaman kopi. Apakah tanaman kopi arabika, yang sekarang sudah berjumlah puluhan ribu itu, dapat dikatakan sebagai tanaman yang memang sah dibudidayakan demi keutuhan lingkungan, konservasi, dan kesejahteraan masyarakat petani lembah Sumbing-Sindoro?

Tanaman kopi juga dipandang sebagai tanaman yang mampu mendorong para pihak untuk mempertahankan lingkungan, terutama konservasi di lahan-lahan di luar kepemilikan petani subsisten, di lahan-lahan yang ‘mentradisi’ dikuasai oleh seperti BUMN Perhutani. Kawasan hutan produksi merupakan fakta tenurial yang diurus dan dikuasai oleh Perhutani. Tentunya Perhutani juga melihat potensi konservasi dan sekaligus potensi ekonomi dari budidaya kopi. Di lahan-lahan berkontur miring lebih tajam dengan potensi erosi yang tinggi mestinya memiliki  tantangan yang lebih besar untuk melakukan konservasi dan anti-bencana tanah longsor. Kawasan ini kita andaikan banyak merupakan kawasan tenurial dari Perhutani. Sementara itu, terdapat keadaan bagaimana para petani di lembah Sumbing-Sindoro ini umumnya memiliki tanah sempit, tak cukup untuk pemenuhan keperluan hidup, di samping tak memadainya tingkat pendidikan sebagai sumber peningkatan kemampuan intelektual yang diperlukan untuk aktivitas ‘kultur’. Perhutani sendiri tak mungkin bekerja sendiri jika ingin memanfaatkan lebih baik lahan-lahan produktifnya agar memiliki dimensi kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Untuk apa negara menghibahkan hak tenurial sedemikian luas untuk Perhutani jika tak juga bermanfaat bahwa kesejahteraan rakyat (setempat?): ini nyaring terdengar dan terasakan secara publik. Kehutanan sosial adalah salah satu kemungkinan sangat potensial yang dapat dijalankan karena semua pihak diuntungkan dan bukan hanya untuk lembaga-lembaga besar di bidang pengelolaan sumberdaya alam. Keuntungan dan pamor bagi lembaga-lembaga itu bahkan akan lebih besar lagi jika kehutanan sosial benar-benar dihidupkan, dengan persyaratan pembagian hak kelola yang tentunya juga harus lebih besar bagi para petani dan atau para buruh tani dan persyaratan pendampingan (extension services) yang lebih intensif.

Yang terakhir ini hanya mungkin dijalankan jika pemrakarsa menyediakan dan mengembangkan aspek pendidikan dan pelatihan yang lebih banyak, sedikit lebih intensif bagi para petani yang secara objektif masih sangat memerlukannya, tanpa mengesampingkan para petani yang secara independen telah mampu belajar dan membangun integritasnya sendiri. Yang terakhir ini juga mempersyaratkan pentingnya membangun sisi kebersamaan di antara para petani sebab hanya kerjasama, kekompakan, solidaritas, saling membantu, gotong-royong sejati yang memungkinkan warga pedesaan/petani bertahan, berkembang, berkelanjutan. Perencanaan budidaya kopi untuk tujuan konservasi lahan non-tenurial petani subsisten mewajibkan pembiayaan pendampingan, pelatihan dan pendidikan yang memadai, jika memang berkehendak mencapai keberhasilan yang berarti. Jika tidak, camkan apa yang akhirnya telah terjadi setelah 2001 di kawasan ini. Tantangan ini nyata, apalagi jika kita ingat bahwa Perhutani (dan mestinya juga pemerintah) berencana membuka lahan lebih luas lagi 2011 (Media Indonesia, 28/11/2011: 355,4 Ha Lahan Perhutani Dikelola Bersama Masyarakat).

Namun, yang terjadi meskipun telah dibuka kemungkinan petani mengurus lahan-lahan tenurial Perhutani untuk menanam kopi (2001), pada akhirnya tanaman-tanaman kopi belum lagi meluas ditanam dan diurus. Hanya sejumlah sedikit petani yang mampu bertahan dengan skema ‘pengelolaan hutan berbasis masyarakat’ (PHBM) dari Perhutani atau skema-skema lain dalam pemajuan budidaya tani seperti yang dikembangkan pemerintah daerah. Malah terdapat fenomen pencurian. Masyarakat menemukan pohon-pohon kopi ditebang oleh para pencuri? (lih juga Blog Rizal Mukidi: Merana Arabika Dalam Sumbing-Sindoro) Ismanto menyatakan warga desa Tlahap yang dipandang sudah lebih siap telah mulai menanam kopi arabika di lahan-lahan Perhutani dengan skema PHBM. Sejumlah besar petani/warga desa di kawasan ini sangat dominan menghadapi masalah pangan dan memaksa mereka harus mendahulukan keperluan hidup langsung yang perlu. Tentunya, yang akhirnya ditanam adalah palawija untuk keperluan pangan. Tak ayal punya budidaya tembakau yang merata dan ‘mentradisi’ di kawasan ini juga (dapat) menggoda para petani itu untuk kurang memegang perjanjian menanam kopi. Untuk budidaya palawija, hipotetis, ditanam dalam intensitas rendah sehingga hasilnya juga tak sepadan karena masih sedikit. Konsumsi beras, seperti di banyak tempat lain, merupakan asupan terbanyak, sementara budidaya padi lahan kering tak ada sama sekali di kawasan ini. Jagung merupakan budidaya tanaman sumber karbohidrat yang utama. Ternak besar (sapi) tampak masih dalam ancangan perencanaan ke depan di antara sebagian kecil para petani di kawasan ini sekalipun ada pula dukungan terbatas dari pihak pemerintah.

Jika tantangan ini kuran berhasil dikembangkan, potensi dampak negatif akan dapat muncul dari kecondongan para petani yang yakin dengan budidaya kopi untuk me-monokultur-kan kopi di lahan-lahan mereka sendiri. Lanskap kawasan ini dapat berubah untuk tahun-tahun ke depan jika pasar kopi internasional dan nasional semakin memperlihatkan stabilitas harga kopi atau bahkan justru semakin naik seperti fenomen pasar kopi global yang terjadi selama 2010-2011.

Anda mau melengkapi ceritera singkat ini? Silakan ..**

1 komentar:

  1. Artikelnya sangat menarik Pak. Sangat menambah wawasan ttg pertanian kopi.

    Sedikit koreksi, pendapatan cukai tidaklah 54% dari APBN, munkin salah tulis atau hitung. APBN kita sekitar 1000-an Trilyun dan sumbangan cukai hanya sekitar 60an Trilyun, jadi hasilnya sekitar 5%-an. :)

    BalasHapus